Archive for the ‘All About Ramadan’ Category

Yang Banyak Dipertanyakan Selama Berpuasa

“…tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya…”[QS. Luqman 31:21].

Ketika seseorang beribadah hanya dengan modal pengetahuan dari nenek moyang, maka ibadah tersebut hanya bisa menghasilkan kerusakan. Salah satunya adalah puasa. Banyak hal-hal kecil seputar puasa yang jelas dalilnya namun karena pengaruh kebiasaan orang tua, lingkungan, atau ceramah para kiyai yang bertentangan dengan dalil, akhirnya dalil tersebut tersingkirkan berada di balik tempat sampah, tak diketahui lokasinya. Hal-hal itu seperti: makruhkah menggosok gigi? Batalkah puasa setelah Imsak? Sahkah puasa tanpa melafadzkan (mengucapkan) niat? Tiga pertanyaan inilah yang sering jadi kasus anak muda atau orang tua yang awam yang sering terdengar oleh telinga saya, walaupun ada banyak lagi syubhat-syubhat yang tak jelas asal-usulnya, seperti batalkah puasanya orang menangis, dan sebagainya. Namun, saya hanya ingin membahas tiga persoalan khusus di atas, karena menurut saya itulah yang paling urgen. Pada awalnya saya merasa tak perlu menulis persoalan kecil ini, tapi setelah mendengar ada seorang teman yang tidak berpuasa lantaran lupa membaca niat puasa (Nawaitu shouma ghodin…..), dan teman yang menanyakan bagaimana hukum sikat gigi saat berpuasa, bahkan saya mendengar seorang teman yang memfatwakan temannya bodoh lantaran masih makan setelah Imsak. Hal-hal demikian mendorong saya untuk menulis artikel ini, agar umat Islam tahu dengan hal-hal yang kecil, sehingga kelak ketika ada kaum yang bertanya kepada mereka tentang agamanya, mereka tidak lagi menjawab:”…tapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya…”

MAKRUHKAH MENGGOSOK GIGI?

Prinsip dalam aktivitas keduniaan adalah: “Semuanya halal sampai ada dalil yang menjelaskan hukumnya.” Gosok gigi merupakan aktivitas keduniaan yang wajib dilakukan oleh siapapun yang ingin gignya sehat. Lalu bagaimana hukumnya jika dilakukan ketika sedang berpuasa? Jika ada yang mengatakan makruh, tentu dia harus menyertakan dalilnya. Sebab makruh adalah hukum yang memiliki makna: “dianjurkan untuk ditinggalkan, dibenci untuk dilakukan, walaupun tidak berdosa”. Namun, selama tidak diketemukan dalil bahwa menggosok gigi adalah makruh, berarti itu mubah (boleh-boleh saja). Justru yang ada adalah hadits dan atsar yang membolehkan memasukkan sesuatu ke dalam mulut selama tidak ditelan, seperti berkumur dan menyicipi masakan. Di dalam sebuah hadits dikatakan: “Bersungguh-sungguhlah dalam berinstinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” [HR. Dawud 1/132, At-Tirmidzi 3/788, An-Nasai, 1/66, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa no.935] Berinstinsyaq adalah menghirup air dengan hidung bersamaan dengan berkumur-kumur dengan satu cidukan tangan. Maksud dari bersungguh-sungguh adalah bisa dengan membasahi semua rongga mulut dan hidung atau dengan waktu yang lama. Pada saat berpuasa Rasulullah tidak menganjurkan untuk terlalu bersungguh-sungguh karena beresiko bisa tertelan. Bahkan ada sebuah atsar dari Ibnu Abbas tentang diperbolehkannya mencicipi sesuatu selama tidak ditelan. Di dalam Al-Irwa beliau berkata: “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” [Al-Irwa’ no.937] Jika berkumur-kumur dan mencicipi makanan saja diperbolehkan, tentu menggosok gigi pun tidak masalah. Tidak haram, tidak juga makruh. Tidak membatalkan puasa, tidak juga mengurangi pahala puasa.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa sebagian dari para ‘ulama berpendapat sebaiknya menggosok gigi ketika berpuasa dihindari. Hal itu disebabkan kebanyakan dari pasta gigi di zaman sekarang mengandung aroma dan rasa yang sangat kuat sehingga terkadang menimbulkan rasa tertentu yang tertinggal cukup lama di mulut. Oleh karenanya lebih aman menyikat gigi di waktu sahur atau berbuka puasa. Beda halnya apabila yang digunakan untuk menggosok gigi adalah batang kayu siwak yang memang dahulu digunakan oleh Rasulullah, maka ini hukumnya sunnah.

BENARKAH TIDAK BOLEH MAKAN SETELAH IMSAK?

Sesungguhnya di zaman Rasulullah tidak ada yang namanya Imsak. Kaum Muslimin di zaman Rasulullah sudah sepakat untuk berhenti sahur ketika adzan subuh berkumandang, bukan ketika ada sirine Imsak atau kentongan sepuluh menit sebelum adzan subuh. Imsak yang ada di zaman kita ini hanyalah peringatan bahwa adzan subuh akan berkumandang, jadi umat Muslim bisa siap-siap untuk sholat subuh, sikat gigi, dan cuci piring, bukan sebagai WAKTU START PUASA! Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alayhi wa salam bersabda: “Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” [Diriwayatkan oleh Ahmad no.10637 dan Abu Dawud no.2350 dengan sanad hasan; lihat Al-Jaami’ush-Shahih 2/418-419 oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i] Kesimpulannya adalah tidak mengapa jika Anda masih ingin makan atau minum walaupun sirine Imsak sudah berkumandang, sahur Anda tetap sah, bahkan lebih mendapat berkah, sebab Rasulullah dan para sahabatnya membiasakan diri untuk sahur di akhir waktu.

BOLEHKAH BERPUASA, PADAHAL MALAMNYA TIDAK MEMBACA DOA

Jika doa yang dimaksud adalah : “Nawaitu shouma ghodin …….” Hal ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Namun banyak umat Muslim yang membaca doa ini secara berjama’ah setelah tarawih. Yang lebih parah ada sebagian kaum Muslimin yang menganggap puasa seseorang tidak sah jika malamnya tidak mebaca lafadz niat puasa ini. Padahal tidak ada hadits yang menerangkan tentang doa ini. Rasulullah tidak mengamalkan, para sahabat pun tidak. Namun tidak ada satu pun makhluk bergerak bernyawa di kolong langit yang mengatakan puasa mereka tidak sah karena tidak melafadzkan niat. Niat itu tempatnya di dalam hati. Ketika seseorang itu bangun sahur, otomatis dia pasti berniat untuk berpuasa. Mana mungkin ada orang bangun sahur jika tujuannya tidak untuk berpuasa? Analoginya adalah seperti orang yang mengambil piring, dan menciduk nasi, tentu dia berniat untuk makan, mana mungkin dia berniat untuk tidur? Ibnu Taimiyyah pernah berkata, “Mengucapkan niat adalah kekurangan dalam akal dan agama. Adapun dalam agama, karena amalan itu adalah bid’ah. Sedangkan dalam akal, karena hal itu seperti orang yang ingin makan lalu ia mengucapkan, ‘Saya berniat meletakkan tangan saya di piring ini. Saya ingin mengambil satu suap lalu meletakkannya di mulut saya lalu mengunyah dan menelannya agar kenyang.’…” [Majmu’ul Fatawa: XXII/231].

Demikianlah artikel ini dibuat untuk meluruskan sebagian anggapan batil yang tersebar di kalangan umat Muslim khusunya kaum remaja. Mereka suka mempermasalahkan hal-hal kecil seperti ini, padahal dalilnya sudah jelas, tapi mereka tidak mau meperhatikan hal-hal yang besar. Ketika ada orang berpuasa dan gosok gigi, mereka berpikiran yang macam-macam. Ketika ada orang sahur seusai Imsak, mereka mengatakan yang macam-macam. Ketika lupa mebaca niat puasa, malah tidak berpuasa. Tapi justru ketika mereka berpuasa, mereka tidak sholat, berpacaran, dan bermaksiat, tidak mempermasalahkannya. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka dan kita, serta umat Muslim seluruhnya. Wallahu a’lam bish showab.

16 Ramadhan 1433 H

Diedit pada 23 Ramadhan 1436 H

Antara Sebelas Raka’at dan 23 Raka’at

Malam itu malam ketiga bulan Ramadhan. Di sekitar tempat tinggal saya ada tujuh buah masjid, dan di setiap malam bulan Ramadhan saya ingin melaksanakan sholat tarawih secara bergiliran di enam masjid tersebut (karena yang satunya lagi masjid milik LDII yang difatwakan sesat oleh MUI) untuk mencari suasana berbeda dan bisa bertemu lebih banyak orang. Siapa tahu bisa bertemu dengan teman lama. Setelah dua malam saya lewati dengan sholat tarawih di dua masjid yang berbeda dengan masing-masing sebelas raka’at, tiba waktunya di malam yang ketiga untuk Baca lebih lanjut